Jiingitiu, Kepercayaan Orang Sabu Tempo Doeloe
Jejak dari kepercayaan ini adalah banyaknya kuburan batu, gua
pemujaan, dan hukum adat serta kekuasaan di masyarakat atau di desa-desa
adat. Eksistensi kepercayaan Jingitiu menjadi penanda bahwa agama
modern belum menyentuh sisi terdalam kebudayaan orang Sabu.
Ama Lay Lado, salah seorang tokoh masyarakat Sabu, yang di temui di
Menia, ibu kota Kabupaten Sabu Raijua, Sabtu lalu, menuturkan, kekuasaan
menurut kepercayaan Jingitiu, ada sejak nenek moyang orang Sabu yang
dikenal dengan nama Kikaga dan Liura.
Lay Lado mengisahkan, konon nenek moyang orang Sabu tinggal di Gua
Merabu. Kekuasaan dalam kepercayaan orang Sabu tertata secara hierarkis
mulai dari Tuhan hingga pemimpin adat. Konsep kekuasaan ini masih
dijalankan meskipun mayoritas penduduk Sabu saat ini beragama Kristen.
“Konsep kekuasaan ini diperoleh Kikaga atas petunjuk Lirubala (Tuhan
langit) di atas sebuah batu merah (Wadumea). Hingga kini, gua Merabu dan
Wadumea dikeramatkan oleh orang Sabu. Selain tidak boleh sembarangan
orang menjamahnya, di kedua tempat ini juga sering digelar upacara
adat,” jelasnya.
Kepercayaan ini bermula dari cerita rakyat Sabu. Awalnya Kikaga
adalah seorang pencari ikan. Suatu ketika datanglah sesosok dari langit
bernama Ludji Liru yang menanyakan dari mana asal Kikaga dan apa yang
dicari. Kikaga menjawab, ia berasal dari seberang dan sedang mencari
ikan. Kikaga lalu diajak Ludji Liru ke khayangan menghadap Lirubala.
Selama di khayangan, Kikaga terus menangis. Karena itu, ia
dikembalikan ke bumi dan diminta untuk tidur di atas batu merah
(Wadumea) untuk menantikan sesuatu yang akan diturunkan dari langit.
Hingga sekarang, penganut Jingitiu menjaga Wadumea yang dianggap sebagai
tempat Kikaga mendapat petunjuk dari Tuhan langit atau Lirubala.
Keesokan harinya, Kikaga mendapatkan dua hal dari langit. Pertama,
kepandaian dan keterampilan untuk mengajarkan budi luhur tentang Tuhan,
kemanusiaan, dan lingkungan. Kedua, Kikaga mendapatkan Liura (puteri
matahari) sebagai isterinya. Selanjutnya, keduanya tinggal di dalam Gua
Merabu dan beranak-pinak menurunkan orang Sabu sekarang ini. Dalam
perjalanan suci mengajarkan budi luhur, Kikaga mengendarai kerbau. Oleh
karena itu, hingga sekarang kerbau menjadi binatang yang dikeramatkan
oleh orang Sabu.
Menurut Lay Lado, penganut ajaran Jingitiu percaya bahwa keturunan
Kikaga dan Liura mulai berkembang dari kampung yang bernama Teriwu
Raeae. Mereka membentuk sebuah komunitas bernama Mone Ama yang artinya
“7 laki-laki yang dibapakkan”.
Sejak dahulu di wilayah ini sudah terbagi dalam 7 bagian yang
dipimpin oleh 7 pejabat, yaitu Deo Rai, Dohe Leo, Rue, Bangu Uda, Pulodo
Muhu, Mau Kia, dan Bawa Iri. Tujuh pejabat itu memiliki tugas
masing-masing, yaitu;
Deo Rai bertugas menjalankan dan memimpin
upacara yang berhubungan dengan kesejahteraan rakyat, seperti upacara
meminta hujan, mencegah hama, memohon panen yang melimpah, menangkal
bencana atau penyakit, dan lainnya.
Dohe Leo bertugas mengawal wilayah dan pengamat
upacara. Misalnya, jika terdapat kesalahan dalam pelaksanaan upacara
yang bisa mendatangkan kutukan, Dohe Leo akan meminta bantuan Deo Rai.
Rue bertugas melaksanakan upacara penyucian.
Artinya Rue akan menggelar upacara penyucian pengganti jika ada
pelaksanaan upacara yang salah.
Bangu Uda bertugas mengurus tanah warga,
Pulodo Muhu adalah panglima perang yang bertugas menjaga keamanan wilayah.
Mau Kia bertugas melaksanakan pengadilan dan menyelesaikan sengketa atau konflik di antara warga atau dengan warga kampung lain.
Bawa Iri bertugas menjaga, memelihara, dan membawa alat-alat upacara.
Dalam pelaksanaan upacara adat, ketujuh pejabat di atas memiliki anggota-anggota yang terdiri dari:
Kiru Lihu (penolak perang),
Lado Aga (penjaga kedamaian),
Lado Lade (penjaga keindahan dan kelestarian alam),
Hawa Ranga (pengatur musim), dan
Puke Dudu (penenang gelombang laut). Struktur paling bawah disebut
Do Gau atau rakyat. Do Gau bertugas mengikuti upacara dan melaksanakan anjuran serta petunjuk.
“Pengetahuan Suku Sabu tentang kekuasaan hingga sekarang masih
diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, meskipun mayoritas penduduk
sudah memeluk agama Kristen. Jumlah pengikut Jingitiu, diperkirakan
masih ada sekitar 10 % dari jumlah penduduk Kabupaten Sabu Raijua atau
8000 orang yang menyebar di seluruh wilayah ini,” papar Lay Lado.
Meskipun saat ini kepercayaan tempo doeloe itu masih ada dan masih
dipertahankan oleh para pengikutnya, namun kekuatan magis kepercayaan
tersebut mulai luntur.
Karena itu, Bupati Sabu Raijua, Marthen Luther Dira Tome berjanji
akan mendorong pengikut Jingitiu agar berbenah demi keberlangsungan dan
kembalinya daya magis dari kepercayaan itu. Makluk, persoalan kemiskinan
dan keterbatasan yang dialami para penganut Jingitiu berdampak pada
lunturnya daya magis dari ritual kepercayaan tersebut.
Misalnya, jika setiap ritual harus menggunakan hewan kurban yang
besar, tetapi karena masalah kemiskinan, maka hanya dilakukan dengan
seekor ayam atau sabut kelapa yang dibakar sebagai pengganti hewan
kurban, maka otomatis daya magisnya tak sedasyat jika kerbau yang jadi
kurban.
“Saya akan mengembalikan kepada yang sebenarnya dan mereka akan
melakukan ritual adat yang sungguh- sungguh sehingga apapun yang
dinginkan dari ritual itu akan terwujud, dan saya akan
memfasilitasinya,” imbuh Dira Tome.
Ia mengatakan, pemerintah akan bertindak sebagai penengah dan
memberikan ruang yang luas, baik kepada agama Kristen Protestan,
Katolik, Islam, Hindu dan Budha, juga kepada pengikut Jingitiu untuk
tetap eksis. Akan ada kebijakan khusus untuk melindungi aliran Jingitiu
agar tidak hilang.
Model pemberian ruang oleh pemerintah itu, lanjutnya Dira
Tome, ketika anak dari orang yang menganut aliran Jingitiu lahir dan
dipermandikan sesuai ajaran Jingitiu yang dikenal dengan sebutan “hapo”,
maka anak tersebut punya hak untuk mendapatkan akte kelahiran. Tidak
harus menunggu permandian seperti di agama Kristen, tapi dia punya hak
untuk mendapat akte dan berhak untuk mendapatkan pendidikan yang layak.
Selain itu, orang yang menganut aliran jingitiu ketika dinikahkan oleh gereja jangan dipaksa untuk menjadi Kristen.
“Meski pasangan Jingitiu itu menikah sesuai adat dan kepercayaan Jingitu, kita berikan akte nikah,” katanya.
Langkah ini diambil pemerintah sebagai bentuk keberpihakan untuk
melindungi agama suku agar tidak musnah. Yang penting kepercayaan ini
tidak bertentangan dengan ajaran moral dan kepentingan masyarakat
banyak.
Hingga kini, jumlah masyarakat Sabu Raijua yang menganut aliran
Jingitiu semakin berkurang lantaran ada kebijakan masa lalu yang keliru.
Selain itu, ada kegiatan upacara adat yang tidak bisa diabaikan kerena
aliran Jingitiu penuh dengan ritual dan prosesi adat. Bahkan, dari bulan
ke bulan ada ritual yang wajib dilakukan oleh para pengikut Jingitiu.
Menurut Dira Tome, pemerintah dan semua elemen masyarakat Sabu Raijua
harus memberikan perlindungan, sehingga penganut Jingitiu dapat dengan
nyaman melakukan semua ritual.
“Saya ingin mereka tetap eksis,” katanya.
Melestarikan budaya, termasuk memelihara aliran Jingitiu di Sabu
merupakan ciri dari orang bermartabat. Langkah perlindungan yang
ditempuh itu bertujuan memberikan perlindungan dan penghormatan kepada
agama suku ini agar tetap ada. Upaya ini merupakan wujud usaha Orang
Sabu dalam melestarikan ajaran leluhur