Tuesday, 19 March 2013

Kabupaten

Kabupaten SABU RAIJUA

Profil | Sejarah | Arti Logo | Nilai Budaya

Profil

Nama Resmi :Kabupaten Sabu raijua
Ibukota :Sabu Barat
Provinsi :NUSA TENGGARA TIMUR
Batas Wilayah: 
  • Sebelah timur : Samudera Hindia
  • Sebelah barat : Laut Sawu
  • Sebelah Utara : Laut Sawu
  • Sebelah Selatan : Samudera Hindia
Luas Wilayah:460,54 Km2
Jumlah Penduduk:70.733 Jiwa
Wilayah Administrasi:Kecamatan: 6, Kelurahan : 5, Desa : 58
Website: http://saburaijuakab.go.id

(Permendagri No.66 Tahun 2011)

Sejarah


Kabupaten Sabu Raijua merupakan  Daerah Otonom yang baru terbentuk Tahun 2008 berdasarkan Undang - undang Nomor 52 Tahun 2008 tanggal 26 Nopember 2008, yaitu pemekaran dari Kabupaten Kupang Propinsi Nusa Tenggara Timur dimana Kabupaten Sabu Raijua merupakan Kabupaten yang ke 21 di propinsi Nusa Tenggara Timur.
Berikut ini adalah catatan sejarah tentang asalmuasal Sabu Raijua :

Sejarah adalah obor untuk menerangi dan menuntun gegerasi penerus agar tidak keliru memehami hidup atau tidak tega membengkokan fakta sejarah demi kepentingan pribadi, kelompok atau golongan. Hal seperti ini penting dikatakan karena nasib sejarah sering penuh dengan kebedaan yang seharusyna tidak perlu terjadi karena sejarah berisi fakta objektif dan seharusnya menjadi hakim atas “political enterprice” dan atas masalah hidup lainnya.

Bila sejarah itu tidak objektif, maka sejarah itu cenderung berubah sebagai gossip murahan. Kondisi semacam ini dapat saja menimbulkan keengganan pada generasi muda atau sejarawan muda untuk belajar dari sejarah dan menggunakan sejarah sebagai seumber daya pembangunan bangsa.

Diungkapkan bahwa karya ini tidak bermaksud membenarkan sejarah, tetapi bermaksud mendeskripsikan sebagian dari fakta (sejarah). Mengapa? Karena data yang dipeoleh masih jauh yang diharapkan. Dari situ, akan terungkap pula bahwa tulisan ini hanya bersifat deskriptif inovatif. Dengan kata lain, tulisan ini bertujuan mengajak pembaca untuk mengenal lebih dekat tentang sejarah dan berbagai kejadian bahkan berbagai fakta sejarah Sabu yang turun temurun dipertahankan hingga saat ini.


Asal Usul Orang Sabu
Ada begitu banyak versi dan cerita yang dituturkan oleh para tua-tua adat tentang asal mulanya pulau Sabu dan riwayat awal terbentuknya masyarakat Sabu.

Diantara versi yang ada itu terdapat satu hal yang menarik, yaitu kesamaan pandangan tentang asal mula nenek moyang. Mereka bersepakat bahwa nenek moyang mereka berasal dar suatu negeri yang sangat jauh, dan mereka juga bersepakat bahwa nenek moyang orang Sabu itu harus melintasi laut dan samudera sebelum mencapai kepuluan sabu saat ini.

Terdapat indikasi kuat bahwa orang Sabu berasal dari rumpun bangsa Melayu yang beasar dari Hindia (Asia Selatan) yang beremigrasi sekitar tahun 500 BC.

Arti Logo

  • Arti logo : Arti Logo termuat dalam Lampiran Peraturan Daerah Kabupaten Sabu Raijua, Nomor : 2 tahun 2010, tanggal : 27 september 2010.
    1. Perisai Berbentuk Jantung. Melambangkan Hati Nurani Masyarakat Sabu Raijua yang bersih, tulus dalam menghadapi tantangan kedepan.
    2. Bintang Sudut Lima. Melambangkan Sabu Raijua yang agamais berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
    3. Pita Merah Putih Bertuliskan Sabu Raijua. Melambangkan menjunjung tinggi nilai persatuan dan kesatuan serta menerima keberagaman dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
      Sorgum, Kapas, dan simpul Tali. Sorgum berjumlah 26 bulir dan Kapas Berjumlah 11 kelopak merupakan representasi dari tanggal dan bulan Penetapan Kabupaten Sabu Raijua yaitu tanggal 26 Nopember. Sorgum sebagai pangan lokal yang perlu dilestarikan dan kapas sebagai bahan pokok tenun ikat khas Sabu Raijua. Simpul Tali berjumlah lima merupakan representasi dari bulan Mei 2009, bulan pengresmian Kabupaten Sabu Raijua.
    4. Rumah Adat. Melambangkan identitas budaya luhur serta demokratisasi masyarakat Sabu Raijua.
    5. Dua Pohon Lontar. Melambangkan Kesetaraan Gender, dengan Berpedoman pada Alam; dimana ada 2 (dua) Lontar yaitu Kalli Mone dan Kalli Banni (Lontar Jantan dan Lontar Betina) sebagai sumber Makanan Utama Masyarakat Sabu yang Perlu Dilestarikan selain Sorgum.
    6. Latar Belakang Biru Laut. Melambangkan Sabu Raijua Sebagai Kabupaten kepulauan yang dikelilingi oleh Samudera luas, serta Masyarakat Sabu Raijua yang berjiwa pelaut ulung.
    7. Warna Dasar Kuning Emas .Melambangkan Tekad yang Bulat Masyarakat Sabu Raijua dalam Menata Masa Depan yang Gemilang.
    8. Tulisan Mira Kaddi. Melambangkan Falsafah/Motto Masyarakat Sabu Raijua yang Mempunyai arti Bersama-sama Bangkit Membangun Negeri Sabu Raijua Menuju Kemandirian.
    9. Rantai. Melambangkan Rapi Tersusun dan terikat Menjadi Satu dalam Membangun Negeri. Sekaligus merupakan Representasi Eratnya Persatuan dan Kesatuan Masyarakat Sabu Raijua.
    10. Rantai berjumlah 26 representasi dari tanggal pengresmian Kabupaten Sabu Raijua.
    11. Tulisan 2008. Melambangkan Tahun lahirnya Kabupaten Sabu Raijua.

      Makna Keseluruhan Logo Kabupaten Sabu Raijua: Hati Nurani yang bersih, tulus, bangun bersama-sama, terbungkus rapi dan menerima keberagaman dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Hanya Tuhan saja yang dapat Menolong untuk Membangun Sabu Raijua Seutuhnya Menuju Kemandirian.

Wednesday, 13 March 2013

http://l3.yimg.com/bt/api/res/1.2/F6TcGnSEYniPfzoUWnQbNA--/YXBwaWQ9eW5ld3M7Y2g9MjcwO2NyPTE7Y3c9NDM2O2R4PTA7ZHk9MDtmaT11bGNyb3A7aD0xMTg7cT04NTt3PTE5MA--/http://media.zenfs.com/id_ID/News/Tribune_News/Ayma-Pejantan-bin-AYam-Jago.jpg

Jiingitiu, Kepercayaan Orang Sabu Tempo Doeloe

Jejak dari kepercayaan ini adalah banyaknya kuburan batu, gua pemujaan, dan hukum adat serta kekuasaan di masyarakat atau di desa-desa adat. Eksistensi kepercayaan Jingitiu menjadi penanda bahwa agama modern belum menyentuh sisi terdalam kebudayaan orang Sabu.
Ama Lay Lado, salah seorang tokoh masyarakat Sabu, yang di temui di Menia, ibu kota Kabupaten Sabu Raijua, Sabtu lalu, menuturkan, kekuasaan menurut kepercayaan Jingitiu, ada sejak nenek moyang orang Sabu yang dikenal dengan nama Kikaga dan Liura.
Lay Lado mengisahkan, konon nenek moyang orang Sabu tinggal di Gua Merabu. Kekuasaan dalam kepercayaan orang Sabu tertata secara hierarkis mulai dari Tuhan hingga pemimpin adat. Konsep kekuasaan ini masih dijalankan meskipun mayoritas penduduk Sabu saat ini beragama Kristen.
“Konsep kekuasaan ini diperoleh Kikaga atas petunjuk Lirubala (Tuhan langit) di atas sebuah batu merah (Wadumea). Hingga kini, gua Merabu dan Wadumea dikeramatkan oleh orang Sabu. Selain tidak boleh sembarangan orang menjamahnya, di kedua tempat ini juga sering digelar upacara adat,” jelasnya.
Kepercayaan ini bermula dari cerita rakyat Sabu. Awalnya Kikaga adalah seorang pencari ikan. Suatu ketika datanglah sesosok dari langit bernama Ludji Liru yang menanyakan dari mana asal Kikaga dan apa yang dicari. Kikaga menjawab, ia berasal dari seberang dan sedang mencari ikan. Kikaga lalu diajak Ludji Liru ke khayangan menghadap Lirubala.
Selama di khayangan, Kikaga terus menangis. Karena itu, ia dikembalikan ke bumi dan diminta untuk tidur di atas batu merah (Wadumea) untuk menantikan sesuatu yang akan diturunkan dari langit. Hingga sekarang, penganut Jingitiu menjaga Wadumea yang dianggap sebagai tempat Kikaga mendapat petunjuk dari Tuhan langit atau Lirubala.
Keesokan harinya, Kikaga mendapatkan dua hal dari langit. Pertama, kepandaian dan keterampilan untuk mengajarkan budi luhur tentang Tuhan, kemanusiaan, dan lingkungan. Kedua, Kikaga mendapatkan Liura (puteri matahari) sebagai isterinya. Selanjutnya, keduanya tinggal di dalam Gua Merabu dan beranak-pinak menurunkan orang Sabu sekarang ini. Dalam perjalanan suci mengajarkan budi luhur, Kikaga mengendarai kerbau. Oleh karena itu, hingga sekarang kerbau menjadi binatang yang dikeramatkan oleh orang Sabu.
Menurut Lay Lado, penganut ajaran Jingitiu percaya bahwa keturunan Kikaga dan Liura mulai berkembang dari kampung yang bernama Teriwu Raeae. Mereka membentuk sebuah komunitas bernama Mone Ama yang artinya “7 laki-laki yang dibapakkan”.
Sejak dahulu di wilayah ini sudah terbagi dalam 7 bagian yang dipimpin oleh 7 pejabat, yaitu Deo Rai, Dohe Leo, Rue, Bangu Uda, Pulodo Muhu, Mau Kia, dan Bawa Iri. Tujuh pejabat itu memiliki tugas masing-masing, yaitu; Deo Rai bertugas menjalankan dan memimpin upacara yang berhubungan dengan kesejahteraan rakyat, seperti upacara meminta hujan, mencegah hama, memohon panen yang melimpah, menangkal bencana atau penyakit, dan lainnya.
Dohe Leo bertugas mengawal wilayah dan pengamat upacara. Misalnya, jika terdapat kesalahan dalam pelaksanaan upacara yang bisa mendatangkan kutukan, Dohe Leo akan meminta bantuan Deo Rai.
Rue bertugas melaksanakan upacara penyucian. Artinya Rue akan menggelar upacara penyucian pengganti jika ada pelaksanaan upacara yang salah.
Bangu Uda bertugas mengurus tanah warga,Pulodo Muhu adalah panglima perang yang bertugas menjaga keamanan wilayah.Mau Kia bertugas melaksanakan pengadilan dan menyelesaikan sengketa atau konflik di antara warga atau dengan warga kampung lain.Bawa Iri bertugas menjaga, memelihara, dan membawa alat-alat upacara.
Dalam pelaksanaan upacara adat, ketujuh pejabat di atas memiliki anggota-anggota yang terdiri dari: Kiru Lihu (penolak perang), Lado Aga (penjaga kedamaian),Lado Lade (penjaga keindahan dan kelestarian alam), Hawa Ranga (pengatur musim), dan Puke Dudu (penenang gelombang laut). Struktur paling bawah disebut Do Gau atau rakyat. Do Gau bertugas mengikuti upacara dan melaksanakan anjuran serta petunjuk.
“Pengetahuan Suku Sabu tentang kekuasaan hingga sekarang masih diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, meskipun mayoritas penduduk sudah memeluk agama Kristen. Jumlah pengikut Jingitiu, diperkirakan masih ada sekitar 10 % dari  jumlah penduduk Kabupaten Sabu Raijua atau 8000 orang yang menyebar di seluruh wilayah ini,” papar Lay Lado.
Meskipun saat ini kepercayaan tempo doeloe itu masih ada dan masih dipertahankan oleh para pengikutnya,  namun kekuatan magis kepercayaan tersebut mulai luntur.
Karena itu, Bupati Sabu Raijua, Marthen Luther Dira Tome berjanji akan mendorong pengikut Jingitiu agar berbenah demi keberlangsungan dan kembalinya daya magis dari kepercayaan itu. Makluk, persoalan kemiskinan dan keterbatasan yang dialami para penganut Jingitiu berdampak pada lunturnya daya magis dari ritual kepercayaan tersebut.
Misalnya, jika setiap ritual harus menggunakan hewan kurban yang besar, tetapi karena masalah kemiskinan, maka hanya dilakukan dengan seekor ayam atau sabut kelapa yang dibakar sebagai pengganti hewan kurban, maka otomatis daya magisnya tak sedasyat jika kerbau yang jadi kurban.
“Saya akan mengembalikan kepada yang sebenarnya dan mereka akan melakukan ritual adat yang sungguh- sungguh sehingga apapun yang dinginkan dari ritual itu akan terwujud, dan saya akan memfasilitasinya,” imbuh Dira Tome.
Ia mengatakan, pemerintah akan bertindak sebagai penengah dan memberikan ruang yang luas, baik kepada agama Kristen Protestan, Katolik, Islam, Hindu dan Budha, juga kepada pengikut Jingitiu untuk tetap eksis. Akan ada kebijakan khusus untuk melindungi aliran Jingitiu agar tidak hilang.
Model pemberian ruang oleh pemerintah itu, lanjutnya Dira Tome, ketika anak dari orang yang menganut aliran Jingitiu lahir dan dipermandikan sesuai ajaran Jingitiu yang dikenal dengan sebutan “hapo”, maka anak tersebut punya hak untuk mendapatkan akte kelahiran. Tidak harus menunggu permandian seperti di agama Kristen, tapi dia punya hak untuk mendapat akte dan berhak untuk mendapatkan pendidikan yang layak.
Selain itu, orang yang menganut aliran jingitiu ketika dinikahkan oleh gereja jangan dipaksa  untuk menjadi Kristen.
“Meski pasangan Jingitiu itu menikah sesuai adat dan kepercayaan Jingitu, kita berikan akte nikah,” katanya.
Langkah ini diambil pemerintah sebagai bentuk keberpihakan untuk melindungi agama suku agar tidak musnah. Yang penting kepercayaan ini tidak bertentangan dengan ajaran moral dan kepentingan masyarakat banyak.
Hingga kini, jumlah masyarakat Sabu Raijua yang menganut aliran Jingitiu semakin berkurang lantaran ada kebijakan masa lalu yang keliru. Selain itu, ada kegiatan upacara adat yang tidak bisa diabaikan kerena aliran Jingitiu penuh dengan ritual dan prosesi adat. Bahkan, dari bulan ke bulan ada ritual yang wajib dilakukan oleh para pengikut Jingitiu.
Menurut Dira Tome, pemerintah dan semua elemen masyarakat Sabu Raijua harus memberikan perlindungan, sehingga penganut Jingitiu dapat dengan nyaman melakukan semua ritual.
“Saya ingin mereka tetap eksis,” katanya.
Melestarikan budaya, termasuk memelihara aliran Jingitiu di Sabu merupakan ciri dari orang bermartabat. Langkah perlindungan yang ditempuh itu bertujuan memberikan perlindungan dan penghormatan kepada agama suku ini agar tetap ada.  Upaya ini merupakan wujud usaha Orang Sabu dalam melestarikan ajaran leluhur
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEip3r294vhvhFyZs3pyYhuP9XrdiyH34p58x8d1CJmjnR6Ofzr-YM-2Yg4oLjBTCHX_eKL4Rt_f5gr2URoH9g4zXJTX9l6hFTUPs0i85h1HyLcPqCXf9ojYBCRhMKTALre59jGeI9xTbro/s320/4.JPG

Saturday, 9 March 2013

sejarah pulau sabu


Buku sejarah perjuangan Mone Mola melawan penjajah Belanda tahun 1914 di wilayah kevetoran Mahara dalam struktur pemerintahan adat Mone Ama yang dikenal dengan nama Ratu Mone Pidu di pulau Sabu (sekarang Kecamatan Hawu Mehara, red) yang diterbitkan unit pelaksana tehnis dinas (UPTD) Arkeologi, kajian sejarah dan nilai tradisionil Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi NTT tahun 2007, akhirnya mendapat tanggapan serius dari tokoh adat Hawu Mehara.

Hal itu diungkapkan tokoh adat dan pemerhati budaya Sabu, Ruben Mangngi yang berdomisili di Kelurahan Airnona Kecamatan Oebobo Kupang yang mendatangi Timor Express di Seba-Sabu Barat belum lama ini. Menurut Mangngi, dengan terbitnya buku sejarah perjuangan dan budaya Sabu, sangat positif, selain untuk melestarikan budaya bangsa, juga sebagai sejarah/muatan lokal (mulok) yang menjadi mata pelajaran mulok ditingkat sekolah dasar (SD).

Perlu dipelajari, menggali dan melestarikan kearifan lokal di setiap daerah. Kata Mangngi, dari satu sisi sebagai mata pelajaran mulok, sangat positif karena menambah khasanah resensi buku sejarah dan budaya Sabu di NTT, tetapi kalau ditinjau dari isi buku tersebut masih banyak kelemahannya. Termasuk struktur adat budaya Sabu perlu diketahui dan pelaku sejarah harus dipahami.

Sebab, buku sejarah perjuangan Mone Mola setebal 102 halaman itu terdapat 18 kesalahan fatal yakni halaman 4, 8, 10, 13, 15, 30, 46, 60, 68, 69, 71, 72, 74, 77, 79, 80, 82 dan 84 yang harus segera diperbaiki. Sehingga, isi buku tersebut tidak menyimpang dan kerancuan sejarah karena nilai-nilai luhur adalah kepribadian bangsa yang majemuk, tetapi satu dalam kesatuan negara Republik Indonesia.

Dikatakan, seperti upacara/ritual adat Uri dilaksanakan pada malam hari dirumah adat Due Duru di Kolorae yang dipimpin Deo Rai bersama Mone Ama Doheleo dan Pulodo Muhu. Sedangkan, upacara Dhami Boro yang dipimpin Mone Ama Rue yaitu upacara perang dilaksanakan pada pagi hari.

Pemerintahan tinggi di Sabu adalah deo ama yang sama artinya, dengan Tuhan dan bukan dewa tertinggi. Sebab, dalam kepercayaan Jingitiu, agama suku masyarakat Sabu-Raijua tidak mengenal adanya dewa tertinggi atau dewa rendah. Untuk menjalankan roda pemerintahan dibumi (pulau Sabu dan Raijua, red) dibawah pimpinan Mone Ama sesuai versi masing-masing daerah.

Seperti daerah Habba (Seba), Menia, Mahara (Hawu Mehara), LiaE (Sabu LiaE), Dimu (Sabu Timur) dan Raijua, jumlah Mone Ama berbeda. Khusus di Mahara, struktur Mone Ama adalah Deo Rai dan Rue merupakan pimpinan tertinggi, Pulodo Wadu, Doheleo, Maja, Pulodo Muhu dan Raga Dimu. Ketujuh Mone Ama tersebut merupakan satu kesatuan dalam pemerintahan adat di Mahara yang disebut Ratu Mone Pidu.

“Karena itu, saya mengharapkan kepada para tim penyusun sejarah perjuangan Mone Mola di Sabu dapat merevisi atau memperbaiki isi buku tersebut supaya sejarah Sabu tidak rancu dan menyimpang.

Tim penyusun buku ini harus membuka sebuah seminar pelurusan sejarah perjuangan Mone Mola di Mahara-pulau Sabu bertempat di Seba untuk menjaring satu persepsi kesepakatan, setelah itu baru digelar lagi satu seminar di Kupang untuk menyempurnakan satu pemahaman sejarah,” harap Mangngi.

Ditempat terpisah, kepala Desa Molie Kecamatan Hawu Mehara, Ruben Aga Ludji membenarkan, supaya sejarah perjuangan Mone Mola tidak mengalami banyak persepsi, sudah saatnya tim penyusun dari UPTD Arkeologi, Kajian Sejarah dan Nilai Tradisionil Dinas P dan K Provinsi NTT harus melaksanakan sebuah seminar tentang sejarah perjuangan Mone Mola dan masalah adat Hawu Mehara dalam pemerintahan Mone Ama yang disebut dengan satu nama yakni Ratu Mone Pidu.